https://docplayer.info/88024399-Trinitarian-sebagai-dasar-kemajemukan-irvan-hutasoit.html
Tanggapan Atas Tulisan dari Link Di Atas ini
1 TRINITARIAN SEBAGAI DASAR KEMAJEMUKAN (Irvan Hutasoit) Tulisan pendek ini diinspirasi oleh pembacaan terhadap buku karya Joas Adiprasetya yang berjudul Adiprasetya, Joas, An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religius Participations. Membaca buku itu, jangan pernah dibayangkan bahwa Joas menelurkan suatu gagasan yang sudah jadi dan siap pakai seperti karya beberapa teolog lainnya, seperti: Raymundo Panikkar, dan yang lainnya. Atau, jangan berharap disana kita akan menemukan sejarah Tritunggal seperti ditulis oleh pakar sejarah gereja. Joas justru mengusulkan metode berteologi dalam konteks kehadiran di tengah keragaman agama-agama. Joas menggunakan metode perikoresis Trinitarian sebagai titik tolak konstruksi teologi agama-agama. Di Indonesia, metode yang ditempuh oleh Joas masih jarang. Selain Joas, saya mendeteksi ada satu orang teolog yang sudah menerbitkan tulisannya dengan menggunakan Tritunggal sebagai titik anjak untuk memahami yang lain di luar dirinya. Teolog itu bernama, Ebenhaizer I. Nuban Timo melalui bukunya, Allah Menahan Diri, Tetapi Pandang Berdiam Diri: Suatu Upaya Berdogmatikan Kontekstual di Indonesia. Meskipun kedua teolog Indonesia itu menggunakan pola pendekatan yang berbeda, tetapi mereka diikat oleh satu semangat yang sama, yaitu mengupayakan konstruksi teologi yang kontekstual di Indonesia. Sebelum masuk dalam perumusan metode perikoresis Trinitarian untuk menjawab kondisi kontekstual Indonesia, saya berupaya untuk pertama sekali masuk dalam pemikiran beberapa teolog besar yang sudah dikenal selama ini. Beranjak dari sana, saya mendeteksi perikoresis dalam pemahaman Tritunggal sebagaimana penjelasan sistematis para teolog tersebut, lantas menggunakannya sebagai titik anjak untuk merefleksikan pluralisme agama di Indonesia sebagai situasi kontekstual yang harus direspon oleh teologi Kristen. Sekali lagi, perikoresis Trinitarian yang saya ajukan adalah metode berteologi dalam konteks pluralitas Indonesia. Metode berteologi itu dialaskan pada penghayatan Trinitarian itu sendiri. I. SEKILAS TENTANG PERIKORESIS Perikoresis berasal dari bahasa Yunani, perichoreo. Arti sederhananya: mencakup, melingkupi, meliputi. Kata ini sering dipakai untuk memahami doktrin Tritunggal sebagai tiga pribadi yang tinggal bersama, bersatu, tidak terpisahkan atau terbagi. Makna kata itu menimbulkan implikasi bahwa perikoresis merupakan tindakan simultan setiap persona dalam Tritunggal yang saling meresap antara satu dengan lainnya,
2 tidak terpisah antara satu persona dengan persona lainnya. Kesatuan dalam Tritunggal membentuk simpangan tetapi tidak bertabrakan melainkan ibarat tarian yang membentuk gerakan harmonis dalam satu ruang kehadiran. Beranjak dari pemikiran perikoresis tersebut, maka berbagai model berteologi Tritunggal yang sudah populer sejak dahulu, seperti modalistik Tritunggal, otomatis gugur. Dalam pemikiran modalistik Tritunggal, ketiga persona itu diterima sebagai keesaan Allah, tetapi justru mengorbankan kebinekaan pribadi Allah. 1 Allah yang Esa itu hadir dalam sejarah bukan hanya dalam pribadi yang berbeda, melainkan juga dalam rentang waktu yang tidak sama. Pemikiran seperti ini banyak mempengaruhi corak berpikir gereja, khususnya di Indonesia saat ini. Modalistik Tritunggal meyakini tindakan Allah dibatasi oleh periode waktu tertentu. Satu persona bertindak pada satu periode yang khusus bagi Dia. Ketika periode waktu beralih dan berganti, maka tindakan Allah beralih pada peran persona lainnya dalam Trintunggal. Karenanya, pemikiran perikoresis bertabrakan dengan metode Trinitarian Modalistik tadi. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa perikoresis adalah ibarat tarian harmonis dalam ruang yang sama. Antara yang satu, menghadirkan diri pada yang lain. Di antara ketiga persona itu tidak ada saling mendominasi melainkan kehadiran bersama-sama yang tidak bisa dipisahkan. II. TRITUNGGAL DALAM LINTASAN PEMIKIRAN II.1 Karl Barth Karl Barth adalah seorang teolog Protestan yang mengkhususkan diri pada bidang sistematika. Karl Barth memperkenalkan doktrin Tritunggal sebagai elemen dasar dalam bukunya sebab dia berasumsi bahwa tidak mungkin merefleksikan doktrin Kristen terpisah dari materi Tritunggal. 2 Dengan demikian, konstruksi teologi Kristen seharusnya berakar pada tradisi Trinitarian. Barth menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin membuat perspektif tentang wahyu tanpa menyinggung Allah dalam penyataannya. 3 Ada tiga pertanyaan yang dilontarkan Barth dalam hal ini. Pertama, apa yang terungkap dalam wahyu itu?; kedua, bagaimana wahyu itu terjadi?; ketiga, apa hasil dari wahyu itu? Timo, Ebenhaiser I. Nuban, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri (Jakarta: BPK Gunung Muliah, 2015) hal. 83 Karl Barth, Church Dogmatics I/1, The Doctrine of the Word of God (Edinburgh: T & T Clark, 1975) hal. 44. Ibid, hal. 295
3 Untuk jawaban yang pertama, Barth mengatakan bahwa yang terungkap dalam wahyu itu adalah Allah yang mengungkapkan dirinya sendiri. Pada pertanyaan kedua, Allah mengungkapkan dirinya melalui dirinya sendiri. Serta pada pertanyaan ketiga, Allah mengungkapkan dirinya sendiri. Dengan demikian, Barth berpendapat bahwa Allah merupakan subjek dari penyataan, sekaligus tindakan penyataan, dan objek penyataan. Barth menegaskan, bahwa kita mempelejari doktrin penyataan berawal dari doktrin Trinitarian Allah. 4 Barth tidak memusatkan pemikiran teologisnya tentang Tritunggal dari bingkai pemikiran kronologis sebagaimana teks-teks awal pemikiran Trinitarian. Konstruksi Tritunggal tidak didasarkan pada peristiwa kronologis, seperti: ketika Allah menciptakan semesta, maka tindakan keselamatan ditunda, dan demikian berikutnya. Setelah tindakan keselamatan Yesus Kristus, maka tindakan penciptaan akan berakhir. Kemudian, saat tindakan keselamatan berakhir berikutnya adalah tindakan Roh Kudus. Bagi Barth, metode pendekatan seperti itu tidak tepat memaknai Allah Tritunggal. Sekiranya demikian, maka makna Tritunggal itu sendiri tidak ada lagi disana. Karl Barth ingin beranjak, bahwa Tritunggal tidak sekedar isi sebuah doktrin. Tritunggal juga mencakup metode berteologi. Metode berteologi Trinitarian yang diajukan oleh Barth bertitik tolak dari pertanyaan yang dimunculkannya dalam buku Church Dogmatics seperti telah diterangkan di atas. Allah menyatakan dirinya sendiri. Dia menyatakan dirinya sendiri menuju dirinya sendiri. Sehingga Allah tidak hanya dirinya sebagai objek, dia juga teridentifikasi dalam tindakan penyataan dirinya sendiri. Karena itu, Barth mengatakan bahwa Tritunggal adalah analisa terhadap konsep penyataan Allah yang dinyatakan melalui tindakannya yang terhubung dan terarah terhadap dirinya sendiri. 5 Dari penjelasan tersebut dapat dilihat benang berang perjumpaan pemikiran Barth dengan perspektif perikoresis. Perikoresis yang sudah dijelaskan di atas merupakan gambaran kehadiran Allah yang melingkupi segala sesuatu. Perikoresis juga menjelaskan setiap persona dalam Tritunggul yang saling melingkupi, tidak terpisahkan, menyatu ibarat penari menampilkan kareografi yang harmonis dalam satu pentas yang sama. Seiring dengan itu, Barth memberikan perspektif penyataan Allah, yang tidak terpisahkan antara satu persona dengan persona yanng lain. Allah yang menyatakan dirinya terhubung dan terarah pada dirinya. Penyataan diri Allah itu adalah tindakan nyata dalam semesta ciptaannya, yang dapat juga ditafsirkan sebagai perikoresis Trinitarian melingkupi semesta ini. 4 5 Ibid, hal. 296 Ibid., hal. 32
4 Sebagai metode berteologi, maka perspektif Tritunggal yang disampaikan oleh Barth menggambarkan kehadiran yang saling melingkupi; kehidupan yang hadir bersama dengan kehadiran yang lain. Kehadiran yang tidak dipisahkan dengan yang berbeda dengan diri sendiri. Antara yang satu melingkupi dan hadir pada yang lain. Dalam bingkai Teologi agama-agama, perspektif Barth ini menjadi titik pijak kehadiran bersama dengan yang lain. Kekristenan misalnya, yang hadir bersama dalam konteks agama-agama lain, memainkan peran yang berbeda dalam satu pentas, yaitu semesta. Kehadiran bersama agama lain menampilkan karya kareografi spritualitas yang indah, sehingga kehadirannya menampilkan karya yang memesona di atas panggung semesta tadi. Gagasan Barth menjadi kerangka kerja teologi Kristen untuk merumuskan kehadirannya di tengah keragaman agama-agama di sekitarnya. II.2. Karl Rahner Karl Rahner adalah seorang teolog Katolik berkebangsaan Jerman yang memiliki minat dalam teologi sistematika. Salah satu karyana, The Trinity, menjadi titik pijak bagi kita untuk melihat perikoresis Tritunggal. Rahner mengajukan penyatuan aksioma economic Trinity (kehadiran dan karya Allah dalam penyataan) dengan Immanent Trinity (kehadiran dan karya Allah dalam dirinya sendiri). Meskipun Barth tidak menggunakan istilah yang sama dengan Rahner, tetapi kita bisa menelusuri kesamaan gagasan antara dua teolog besar itu. Barth, seperti sudah diuraikan sebelumnya, mengatakan bahwa Allah yang menyatakan dirinya sendiri itu, terarah dan tertuju pada dirinya sendiri. Sehingga, apa yang diajukan oleh Rahner, bahwa economic Trinity dan immanent Trinity bukanlah aspek yang terpisah, melainkan menyatu menjadi satu. Rahner mengatakan, bahwa Trinitarian harus terhubung dengan manusia. 6 Keterhubungan Trinitarian kepada manusia terwujud melalui misteri keselamatan. 7 Sehingga, kehadiran Allah dalam peristiwa keselamatan berlangsung dalam bentangan realitas dunia, tidak hanya dalam gagasan atau doktrinal belaka. Kehadiran Allah dalam bentangan realitas dunia, menurut Rahner akan melahirkan aksioma: the economic Trinity is the immanent Trinity and the immanent Trinity is the economic Trinity. 8 Maksudnya, kehadiran dan karya Allah dalam penyataan merupakan Rahner, Karl, The Trinity, New York: Herder&Herder, 1970, hal. 21 Ibid Ibid., hal. 22
5 kehadiran dan karya Allah dalam dirinya sendiri. Demikian sebaliknya, kehadiran dan karya Allah dalam dirinya sendiri merupakan kehadiran dan karya Allah dalam penyataannya. Dalam economic Trinity, dikenal tiga persona. Menggunakan metode Rahner, ketiga persona itu tidak bisa dipisah antara yang satu dengan lainnya. Penyataan ketiga persona tersebut adalah kehadiran simultan yang terpusat pada penyelamatan. Namun, merujuk pada aksioma Rahner, bahwa penyataan ketiga persona tersebut terhubung dengan dirinya sendiri. Pemikiran Rahner sama dengan Barth, bahwa teologi Trinitarian tidak hanya membicarakan isi. Teologi Trinitarian justru melahirkan metode berteologi agama-agama, merumuskan cara pandang kekristenan terhadap keragaman agama-agama di sekitarnya. II.3 Jurgen Moltmann Pemikiran Jurgen Moltmann, seorang teolog Protestan, sudah diapungkan oleh Joas dalam bukunya, The Imaginative Glimpse. Sekilas, Joas mengutip pemikiran Moltmann, bahwa untuk memahami Allah harus berawal dari penderitaannya. Dalam konsep the economic Trinity dijelaskan bahwa Yesus adalah penyataan Allah yang menderita bagi dunia ini. Menjaga agar the economic Trinity tidak terjebak pada Tritunggal modalistik, yang berusaha memisahkan ketiga persona Tritunggal dalam rentang sejarah yang berbeda-beda, maka kita bisa menggunakan pemikiran Moltmann dalam hal ini. Moltmann mengatakan bahwa dasar penciptaan adalah Kristus. Penciptaan itu dilakukan oleh Allah yang satu. 9 Jika penciptaan diciptakan oleh Allah yang satu maka dapat dikatakan bahwa dalam penyataan economic Trinity berlangsung terjadi kesatuan transenden. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Rahner dengan menyebutkannya dengan kesatuan hakekat, hiypostatic unity. 10 Beranjak dari pemikiran Moltmann tersebut, semesta tidak bisa dibagi dalam kepemilikan banyak Allah. Allah yang satu menciptakan semesta yang satu. Berarti, semesta yang satu hanya dimiliki oleh Allah yang satu. Peristiwa penciptaan bukanlah peristiwa partikular dalam penyataan economic Trinity. Penciptaan merupakan peristiwa yang simetris dengan penyataan-penyataan Allah lainnya dalam narasi Alkitab. 11 Maksudnya, penyataan Allah dalam semesta, penciptaan dan keselamatan serta penyataan lainnya, bukanlah peristiwa yang disintegratif melainkan penyataan integratif sebagai keseluruhan penyataan Allah. Karena itu, saya menyimpulkan Moltmann, Jurgen, The Way of Jesus Chirst, Minneapolis: Fortress Press, 1993, hal. 258 Rahner, Karl., Op.Cit, hal. 26 Moltmann, Jurgen, Op.Cit., hal. 258
6 bahwa Moltman memiliki gagasan kesatuan economy Trinity dalam peristiwa penyataan Allah. Penyataan yang satu tidak bisa dipisahkan dari penyataan lainnya. Meminjam pemikiran Barth, bahwa penyataan Allah adalah untuk dirinya sendiri, maka saya melihat ada kesamaannya dengan pemikiran Moltmann. Beranjak dari penciptaan, bahwa penyataan Allah disana terarah dan terhubung dengan dirinya sendiri (Kejadian 1). Dalam Kejadian 1:2, misalnya ketika disana disebutkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas permukaan bumi, yang dilanjutkan dengan penciptaan terang pada ayat 3 serta ciptaan lainnya pada ayat-ayat berikutnya, menandakan kesatuan dan saling melingkupi antara Firman dan Roh Allah. Penyataan Allah melalui kisah penciptaan itu menunjukkan economic Trinity yang menyatu dan tidak terpisahkan antara yang satu dengan lainnya. Sehingga Moltmann berkata, in the unity of created things (dalam kesatuan segala sesuatu diciptakan) 12 Hingga saat ini, maka kita bisa melihat kesatuan, perikoresis Trinitarian dalam pemikiran Moltmann. Ide economic Trinity tidak bisa dipisahkan antara persona di dalamnya. Demikian juga dengan Imament Trinity, tidak bisa dipisahkan dari Allah sendiri sebab penyataan Allah terhubung dengan diri Allah sendiri. Economic Trinity yang dijelaskan dalam Persona-Perikoresis, menyatu dalam imanent Trinity, yang dijelaskan dalam Reality- Perikoresis. Gagasan Moltmann ini menginspirasi kita untuk merumuskan metode berteologi. Allah Tritunggal, yang menyatu antara satu dengan lainnya, menyatakan diri dalam ciptaan sehingga segala sesuatu yang diciptakan itu terhubung dengan Penciptanya. Metode berteologi yang dimunculkan dari pikiran Moltmann ini akhirnya menyingkirkan teologi yang bersifat dikotomis. Bukankah teologi sering mendikotomi dirinya dengan sesuatu di luar dirinya? Metode Moltmann, demikian juga dua teolog lainnya: Barth dan Rahner, menjadi titik pijak untuk memahami kehadiran teologi sebagai satu kesatuan dengan yang lain di luar dirinya, hadir dan menyatakan diri dalam satu semesta ciptaan ini. Akhirnya, pemikiran ini memicu lahirnya bingkai kerja teologi agama-agama yang hadir menyatu dengan keyakinan lain di tengah semesta ini. IV. MENGUSAHAKAN TEOLOGI KEBANGSAAN IV.1 Pemikiran Awal Belakangan ini perasaan kebangsaan kita digoncang oleh isu sektarian agama yang bermotif politik. Hal itu nampak jelas pada masa sebelum Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. 12 Ibid., hal. 289
7 Berawal dari pidato Basuki Tjahya Purnama (Ahok) di Pulau Pramuka, isu sektarian bergulir tidak terbendung. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi energi bagi seantero negeri untuk mersepon pidato Gubernur DKI petahana tersebut melahirkan aksi bela Islam dalam beberapa jilid. Jilid I pada tanggal 4 November 2016 dan Jilid II pada tanggal 2 Desember Reaksi yang terjadi tidak hanya berujung pada aksi solidaritas umat muslim yang menyedot perhatian banyak orang. Aksi itu berujung pada sikap politik bahwa haram memilih pemimpin non-muslim. Tidak bisa diingkari bahwa fenomena aksi belas Islam yang berlangsung beberapa jilid tersebut erat kaitannya dengan agenda politik Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta. Meskipun beberapa orang berkata bahwa aksi tersebut murni untuk membela kemurnian ajaran agama. Tetapi akibat yang dimunculkannya tidak bisa lepas dari keuntungan politik yang diperoleh oleh sekelompok kekuatan dan saat yang bersamaan, kerugian politik bagi kekuatan lain. Tanpa bermaksud untuk menuduh kelompok yang diuntungkan akibat isu sektarian itu, penting juga digumuli pendapat Hanna Arendt seperti yang dikutip oleh Budiono Kusumohamidjojo. Arent berpendapat bahwa kekuasaan itu berasal dari suatu kekuatan yang bisa mempunyai macam-macam bentuk. 13 Pada zaman kuno biasa saja terjadi bahwa kekuasaan bersemayam sebagai kekuatan fisik dalam diri orang yang paling jago berkelahi. 14 Meminjam pendapat Arendt di atas, simbol agama menjadi kekuatan kekuasaan dalam rangka pertarungan politik di DKI Jakarta. Rupanya, keriuhan Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta merembes hingga beberapa daerah di Indonesia. Ditunjang oleh partisipasi dari daerah di luar DKI Jakarta dalam aksi bela Islam tersebut, serta media yang aktif mempublikasi fenomena Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta, isu sektarian ternyata merembes hingga menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Wacana atau opini politik sektarian tiba-tiba menggema. Sehingga muncul kekwatiran tentang semangat kebangsaan di Indonesia. Pertanyaan, hendak berjalan ke arah manakah kebangsaan Indonesia pada saat ini? Satu kata yang tidak bisa dilepaskan untuk memahami esensi Indonesia yaitu kata Nusantara. Kata ini tidak merujuk pada satu pulau. Dari analisa kata, Nusantara terdiri dari dua suku kata, nusa (pulau) dan antara (lain/seberang). 15 Kalau berbicara tentang Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21, Yogyakarta: Jalasutra, 2014, hal. 115 Ibid Romli, Muhammad Guntur, Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara, Ciputat: Ciputat School, 2016, hal. 25
8 pulau, maka tidak bisa dilepaskan dari laut yang menghubungkan pulau-pulau yang berbeda itu. Penghubung pulau itu adalah laut, yang permukaannya datar dalam satu hamparan luas. Tidak ada satu laut yang permukaannya lebih tinggi dari yang lain. Sehingga, Nusantara merupakan esensi dari Indonesia itu sendiri. Disana terdapat keragaman (agama, suku, dan ras), tetapi keragaman itu dihubungkan oleh jiwa atau semangat egaliter (kesetaraan). Itulah refleksi kita sebagai esensi dari Indonesia itu. IV.2 Selintas Tentang Islam Nusantara Rupanya, Islam, dalam hal ini, Nahdatul Ulama (NU) telah menggaungkan suatu metode beragama yang disebut dengan Islam Nusantara. Istilah ini bukanlah yang baru dalam wacana NU. KH Said Aqil Siradj kembali melemparkan istilah itu dalam pembukaan acara Istighosah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU, Minggu, 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. 16 Menurut KH Said Aqil Siradj, Islam Nusantara merupakan rujukan pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya 17 Sehingga, Islam Nusantara bukanlah suatu keyakinan atau mazhab baru dalam Islam, melainkan metode kehadiran. Tidak hanya metode kehadiran, Islam Nusantara merupakan metodologi tafsir kehadiran Islam di bumi Nusantara. Karena itulah, Romli memenyimpulkan bahwa Islam Nusantara adalah kesinambungan dengan budaya lokal. Islam yang mampu menampilkan keragamankeragaman sebab Nusantara pada dasarnya adalah keragaman. Islam yang melakukan perubahan dan pembaruan yang sifatnya jauh dari radikalisme dan ekstrimisme. Islam yang bertransformasi sebagai kekuatan kebangsaan dengan menggunakan jalur dakwah melalui pendidikan, pelayanan sosial, kesenian, dan budaya serta kegiatan kultural lainnya. Serta mengedepankan karakter Islam yang toleran, ramah dan menjauhkan diri dari fanatisme. Romli menengarai bahwa Islam Nusantara menjadi penting sebab itu merupakan budaya yang melekat bagi seorang Islam yang bermukim di bumi Nusantara. Di bumi Nusantara yang mengedepankan keragaman ini. Pendapat ini sejiwa dengan gagasan dan pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sering manggaungkan Islam yang rahmatan lil alamin (kesejahteraan bagi seluruh semesta) Ibid., hal. 17 Ibid., hal. 18
9 Menarik untuk direfleksikan, Gus Dur tidak menerjemahkan rahmat dengan kasih, melainkan kesejahteraan. Mengapa? Menurut pendapat Gus Dur, kasih itu masih abstrak. 18 Makna kesejahteraan merupakan bentuk konkrit dari kasih. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur di atas, merupakan panggilan etis Islam dalam pemahamannya tentang kehadiran di Indonesia. Bagi Gus Dur, partikel hukum Islam sudah dimuat apabila Islam itu sendiri mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh semesta. Itulah sebabnya konsep Islam Nusantara ditengarai sebagai usaha untuk membendung kelompok dan gerakan yang ingin memaksakan kehendak di Indonesia, baik dari jalur politik ( islamis ), ormas, dan kelompok-kelompok yang ingin menyeragamkan identitas Nusantara menjadi satu. 19 Bahkan, Islam Nusantara merupakan metode berteologi bagi Islam untuk membendung pengaruh-pengaruh konflik dari luar Indonesia, khususnya dari Timur Tengah, dimana terjadinya persaingan kuat antar kubu yang memiliki label sektarian, padahal sesungguhnya persaingan itu murni politik. 20 Keberadaan Islam Nusantara sebagai metode juga diungkapkan oleh Khabibi Muhammad Luthfi. Pertama-tama, Islam Nusantara tidak bermaksud mengubah doktrin Islam. Luthfi mengutip pendapat Mahrus el-mawa yang mengedepankan metode akulturasi Islam terhadap budaya-budaya lokal. Mahrus mencontohkan bentuk adaptif Islam dengan budaya-budaya lokal di Nusantara dalam bentuk aksara, seperti aksara Carakan dan Pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. 21 Dengan begitu, Islam Nusantara dapat dipahami sebagai penerimaan terhadap keragaman. Dengan menerima keberagaman itu, Islam Nusantara justru menawarkan metode kehadiran Islam di Nusantara yang menolak identitas tunggal. Karena Islam Nusantara merupakan penerimaan terhadap perbedaan, sekaligus penolakan terhadap identitas tunggal, maka metode beragama ini menolak hegemoni bahasa agama dalam ruang lingkup sosial. Maksudnya, bahasa agama yang terlontar untuk menguatkan hegemoni agama dan kekuasaan di tengah keragaman entitas umat manusia, menjadi objek yang ditolak oleh Islam Nusantara. Misalnya, penggunaan kata kafir yang dipakai untuk menuduh dan memisahkan suatu kelompok yang berbeda dengan Islam, menjadi objek yang ditentang oleh metodologi Islam Nusantara diakses tanggal 16 Mei 2017, pukul 21:24 Romli, Muhammad Guntur, Op.Cit., hal. 72 Ibid., hal. 73 Luthfi, Khabibi Muhammad, Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal, Shahih, Vol. II, Nomor I, Januari-Juni, 2016, hal. 8
10 IV.3 Perikoresis Trinitarian Sebagai Titik Pijak Teologi Kebangsaan Banyak pakar yang berpendapat bahwa fenomena bangkitnya isu politik sektarian yang membumbui proses Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta merupakan kebangkitan agama (khususnya Islam). Di satu sisi, pendapat itu benar sebab isu sektarian itu rupanya memberikan keuntungan politik bagi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang berkompetisi dengan petahana, Basuki Tjahya Purnama (yang kebetulan beragama Kristen), yaitu Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Tidak bisa dipungkiri bahwa pasangan Gubernur- Wakil Gubernur yang menang dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta mengeruk keuntungan politik dari kebangkitan isu sektarian yang berhembus pada masa itu. Isu yang lahir dari kelompok yang diyakini sebagai golongan fundamentalis dalam Islam, ternyata memberikan hasil politik. Inilah salah satu alasan mengapa itu disebut sebagai kebangkitan agama-agama. Namun, pada sisi lain, apakah ini dapat diterima sebagai kebangkitan agama? Apalagi kalau pertanyaan ini dialamatkan pada konteks Nusantara sebagai esensi Indonesia. Isu sektarian yang dimunculkan pada masa Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta menunjukkan fakta munculnya polarisasi masyarakat Indonesia. Polirasiasi itu tidak sekedar pilihan politik, tetapi sudah berbasis agama. Tentu, ini menjadi ancaman bagi masa depan Nusantara ini. Yonky Karman menengarai bahwa kebangkitan agama-agama di Indonesia belum berdampak positif terhadap kebangsaan. 22 Karman memiliki dasar untuk mengatakan hal itu. Dalam bukunya, Karman menyebutkan bahwa agamawan lebih tertarik mengembangkan teologi yang menguatkan identitas kelompok. 23 Dalam rangka penguatan itu, simbol-simbol agama merupakan keniscayaan untuk memperkuat identitas politik sektarian. Parahnya, simbol-simbol itu tidak hanya melumpuhkan yang lain, yaitu mereka berbeda keyakinan dengan dirinya (dengan begitu, terbentuklah polarisasi kita-mereka). Simbol itu justru dipakai sebagai landasan untuk mengeluarkan ujaran kebencian terhadap keyakinan lain. Hal itulah yang ditunjukkan akhir-akhir ini. Karman menyebutkan bahwa Teologi Keumatan merupakan motif penguatan kelompok sektarian. Teologi keumatan membuat antar umat tidak saling menyapa dan tidak menjunjung toleransi sehingga umat tersandera untuk tidak saling menyapa, antara yang satu Karman, Yonky, Runtuhnya Kepedulian Kita: Fenomena Bangsa Yang Terjebak Formalisme Agama, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010, hal. 132 Ibid
11 terhadap yang lain. 24 Akibatnya, sesama umat terjangkit virus yang mematikan kehidupan harmoni sosial. Disana lahir sikap saling curiga, sensitif, serta anti terhadap keberagaman. Ini menjadi ancaman bagi kebangsaan Indonesia serta nilai luhur dalam makna kata Nusantara itu. Karena itu, Karman mengusulkan agar Teologi Keumatan beranjak menjadi Teologi Kebangsaan. Dari sudut pandang kekristenan, apa yang harus kita lakukan? Pemikiran perikoresis Trinitarian menjadi metode untuk membangun teologi kebangsaan. Di atas sudah dijelaskan tentang perikoresis, yaitu penghayatan kehadiran Allah yang melingkupi semesta. Dalam Tritunggal, kristen menerima tiga persona. Namun, ketiga persona itu tidak saling menguasai atau mendominasi antara satu dengan lainnya; menolak paradigma bahwa satu persona lebih tinggi dari dua persona lainnya. Keragaman persona terdapat kesatuan hakekat. Sehingga, prinsip dalam Tritunggal adalah, unity in diversity. Satu dalam hakekat, yaitu Allah yang menyatakan kehadiran dalam berbagai cara atau bentuk. Trinitarian merupakan ajaran kekristenan yang menggambarkan keragaman dalam satu kesatuan. Seperti penjelasan Joas, bahwa kesatuan tiga persona dalam ajaran Trinitarian itu digambarkan ibarat penari di atas pentas. Setiap penari memainkan gerakan masingmasing tetapi disatukan dalam satu harmoni kareografi di atas pentas yang sama. Maksudnya, ketiga persona dalam Trinitarian merupakan bentuk kehadiran Allah di dunia. Ketiga persona itu tidak mengalami kehadiran modalistik, dimana kehadiran persona kedua menggantikan persona pertama atau kehadiran persona ketiga menggantikan persona kedua. Ajaran Trinitarian tidak mengenal konsep modalistik maupun substitusional. Kehadiran Allah Bapa tidak menunda kehadiran Allah Anak. Demikian selanjutnya, kehadiran Allah Anak tidak menunda kehadiran Roh Kudus. Di semesta ini, kehadiran persona Allah Bapa sebagai pencipta. Ciptaan itu sendiri mengalami kehadiran Allah yang selalu mewartakan karya pembaharuan, sekaligus pembaharuan terhadap ciptaan itu. Begitulah semesta ini mengalami kehadiran Allah yang menyatu dalam tiga persona. Ajaran Trinitarian ini merupakan titik anjak bagi kekristenan untuk merumuskan kehadirannya di tengah semesta ini. Terinspirasi dari ajaran Trinitarian yang tidak saling mendominasi atau menunda yang lain, demikian halnya kehadiran kekristenan yang tidak mendominasi atau menunda yang lain. Pantaslah kekristenan itu meyakini kehadiran dirinya bukan penyataan tunggal di tengah semesta ini. Bersama dengan dirinya, ada kehadirankehadiran lain, yang justru berbeda dengan kekristenan itu sendiri. Yang dalam pemikiran 24 Ibid
12 dekonstruksi, refleksi dari ajaran Trinitarian itu menolak metode berpikir logosentrisme, yaitu suatu paham yang memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri; dengan demikian penolakan terhadap keragaman. Kalau kekristenan merefleksikan kehadirannya bersama dengan yang lain beranjak dari ajaran Trinitarian, maka dalam kekristenan itu sendiri harus menerima bahwa banyak penafsiran tentang keselamatan. Bersama dengan penafsiran dalam kekristenan, ada penafsiran dari keyakinan agama lain. Sehingga, dominasi ujaran dan bahasa yang kerap dipakai agama-agama untuk melumpuhkan keyakinan lain, terhindar oleh karena tafsir Trinitarian. Tafsir terhadap ajaran Trinitarian itu menjadi titik pijak untuk menerima keragaman di luar kekristenan. Kalau kekristenan telah menerima keragaman itu, maka dominasi ujaran dan bahasa akan terhindarkan secara otomatis. Melirik pada fenomena kehadiran kristen yang diwariskan oleh revolusi Industri di dunia barat telah menciptakan ujaran dan bahasa kekristenan sebagai simbol kekuasaan. Mengapa simbol kekuasaan? Sebab ujaran dalam kekristenan itu sendiri kerap dipakai untuk meniadakan yang lain di luar dirinya. Padahal, satu persona dalam Trinitarian tidak bermaksud untuk meniadakan persona yang lain. Tentulah pemikiran ini sangat berguna untuk membangun teologi kebangsaan di Indonesia. Sudah dijelaskan di atas bahwa kata Nusantara merupakan esensi yang melekat dalam Indonesia. Membicarakan kebangsaan Indonesia tidak bisa lekang dari makna Nusantara. Dalam kata Nusantara mengindikasikan bahwa Indonesia itu beragam. Keragaman itu justru tidak memisahkan antara yang satu dengan lainnya. Seperti pulau-pulau di Nusantara ini, tidak dipisahkan oleh laut, tetapi dihubungkan oleh laut itu sendiri. Laut yang menggambarkan kesetaraan atau kesejajaran, merupakan penghubung semua keragaman yang ada di Indonesia. Itulah Nusantara. Itulah Indonesia. Tafsir kekristenan tentang Trinitarian yang mengedapankan keragaman tanpa menggeser, mengabaikan, atau menunda yang lain justru menguatkan Teologi Kebangsaan di Indonesia. Teologi Kebangsaan seharusnya mengusahakan kesetaraan dan kesejajaran di antara keragaman di Indonesia. Melalui tafsir Trinitarian, kekristenan harus menyadari kehadirannya sejajar dan setara dengan yang lain, bahkan mereka yang berangkat dari tradisi agama yang berbeda. Dalam rangka kehadirannya di Indonesia, kekristenan harus meyakini bahwa dirinya sejajar dan setara, sekaligus memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya di tengah-tengah bangsa ini. Suara ini jugalah yang harus disuarakan bahwa setiap penghuni Nusantara dan anak-anak bangsa memiliki kesempatan yang sejajar atau setara di tengah negara ini.
13 IV.4 Adakah Perbedaan Islam Nusantara dan Perikoresis Trinitarian? Islam Nusantara merumuskan metode kehadiran Islam di Indonesia. Merumuskan kehadiran tersebut, NU menggunakan pendekatan kulturuan. Islam mengasimilasikan diri dengan kekayaan budaya Nusantara. Sehingga, ciri khas yang muncul dalam Islam Nusantara adalah keyakinan yang ramah terhadap yang lain. Tidak menempatkan diri sebagai ekstrimis dan teroris terhadap yang berbeda sekalipun. Intinya, Islam Nusantara beranjak dari pendekatan kultural untuk menerima keragaman yang ada di Indonesia. Sementara itu, Perikoresis Trinitarian beranjak dari tafsir terhadap ajaran di lingkaran kekristenan. Kita tahu persis, bahwa substansi kekristenan terletak pada ajaran Trinitarian. Dari tafsir Trinitarian itu, kekristenan melahirkan kesadaran untuk menerima keragaman. Keragaman yang tidak saling menaklukkan, meniadakan, mengabaikan, dan menyingkirkan yang lain. Itulah ciri khas metode berteologi yang muncul dari tafsir Trinitarian tersebut. NU dengan Islam Nusantara dan Kristen dengan tafsir Perikoresis Trinitatrian beranjak dari pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara merupakan hasil dari tafsir dan refleksi historis-kultural, dan Perikoresis Trinitarian hasil dari tafsir sistematis berpola dekonstruksi, tetapi keduanya bermuara pada satu kesadaran yang sama, yaitu penerimana pada keragaman. Inilah yang menjadi modal bagi kehadiran dua agama ini dalam bingkai Indonesia, seperti tulisan pada pita di kaki burung Garuda Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. V. PENUTUP Buah pikiran dalam tulisan ini merupakan respon terhadap situasi kekinian di Indonesia. Saat ini, bangsa Indonesia mengalami kegelisahan, dimana polarisasi agama semakin merajalela. Ini menjadi ancaman bagi kebangsaan kita. Mengapa tidak, ujaran kebencian dan permusuhan dengan menggunakan simbol agama sangat lazim terdengar belakangan ini. Sesama anak bangsa yang berbeda keyakinan saling menuduh dan mencaci, terutama pertumbuhan media sosial yang semakin masif belakangan ini. Tidak hanya itu saja, dominasi satu agama terhadap agama lain begitu dominan yang sejujurnya motifnya sebatas pertarungan politik belaka. Kalau agama-agama tidak membentengi dirinya dengan konsep kebangsaan, maka disintegrasi bangsa merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Dengan mengusahakan suatu kesadarn berteologi kebangsaan, maka agama-agama tampil sebagai garda terdepan untuk merawat bangsa ini. Kalau itu dapat diusahakan, maka tidak dapat disangkal bahwa semua agama di Indonesia akan tampil sebagai rahmatan lil
14 alamin, yang membawa kesejahteraan bagi bangsa dan Nusantara ini. Karena itu, kekristenan harus tampil dalam usaha kesejahteraan bagi bangsa Indonesia melalui tafsir Perikoresis Trinitariannya. DAFTAR PUSTAKA Buku: Jenson, Robert W. Karl Barth. Dalam Ford, David (ed.), The Modern Theologians: An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century, Cambridge: Blackwell, 1997 Karl Barth, Church Dogmatics I/1, The Doctrine of the Word of God, Edinburgh: T & T Clark, 1975 Karman, Yonky, Runtuhnya Kepedulian Kita: Fenomena Bangsa Yang Terjebak Formalisme Agama, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010 Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21, Yogyakarta: Jalasutra, 2014 Moltmann, Jurgen, The Way of Jesus Chirst, Minneapolis: Fortress Press, 1993 Romli, Muhammad Guntur, Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara, Ciputat: Ciputat School, 2016 Timo, Ebenhaiser I. Nuban, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri, Jakarta: BPK Gunung Muliah, 2015 Jurnal: Luthfi, Khabibi Muhammad, Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal, Shahih, Vol. II, Nomor I, Januari-Juni, 2016, hal. 8 Internet: